Wajah di Dalam Cermin
Oleh: Henny
Widyaning Fatmasari
Jejak
pertamamu di sini adalah penanda hujan mulai berhenti turun. Di penghujung bulan
Januari, semestinya semesta masih kuasa menggulirkan tetesan-tetesan air dari
atas langit. Siapa pun tak mengira kaulah penyebab kota mengalami kemarau
parsial. Namun, sebuah peristiwa mengintervensi pemikiran mereka. Suatu pagi, kau meninggalkan kota dan kembali pada
malam harinya. Sepanjang hari itu rintik gerimis membasahi jalanan dan mendadak
berhenti turun di waktu malam. Selepas itu, mereka percaya jika kau telah menyembunyikan
hujan itu.
***
Ada
sebentuk kesetiaan yang kaujaga hingga kini. Di usia yang menyentuh angka 25, hatimu cuma berlabuh pada seorang
yang sama. Tiap kali membayangkan seseorang itu, debaran jantungmu menggila dan
wajahmu terbakar api cinta. Ya, kau jatuh cinta sedalam-dalamnya pada seorang
itu.
Seorang
itu amat dekat eksistensinya. Kau bahkan mengetahui suara ketukan tuts keyboard
ketika seorang itu mulai menarikan jemari di atasnya. Pun embusan napasnya yang
terdengar begitu merdu adalah
senandung yang enggan kaulewatkan begitu saja.
Kau pernah
membagi kisah ini pada Raditya, satu-satunya temanmu, dan pria itu cuma menanggapi
datar.
“Aku
terperangkap dalam satu cinta. Dalam. Hingga aku tidak tahu bagaimana keluar
dari sana.”
“Aku sendiri
masih meraba-raba perasaanku padamu, May. Entah, ini cinta atau bukan. Tapi, tenang, kau tidak perlu merasa
terbebani dengan semua itu. Datanglah padaku kapan pun kau membutuhkanku.”
Kau
mengerti, pria itu memendam rasa. Terkadang kau juga berpikir untuk
mempertimbangkan pria itu. Namun, setelah bertahun-tahun mengenalnya, kau tidak
menemukan kemungkinan-kemungkinan untukmu dan dia. Hujan dan matahari akan sukar
bersekutu pada satu waktu. Meskipun tidak mustahil, kecil probabilitasnya. Matahari
yang bersifat membakar bertolak dengan sifat hujan yang dingin.
***
Namamu adalah Amaya Prameswari. Entah siapa yang memberi nama itu, yang
jelas bukan ayahmu atau ibumu. Bisa saja kakekmu. Nama yang indah, tetapi tidak demikian dengan jalan hidupmu.
Kau tumbuh menjadi sosok yang persis hujan; dingin, apatis, dan tak kenal cinta. Satu-satunya
cinta yang kau punya pun bersifat obsesif dan tumbuh tak wajar.
Beruntungnya
kau terlahir dari keluarga berada. Kakekmu adalah pemilik perkebunan terbesar
di kota ini. Uangnya
bergelimang di sekitarmu. Dengan uang yang tak sedikit itu, kau bisa saja membeli
rumah mewah, mobil paling anyar, bahkan teman. Namun, sayangnya, uangmu
tidak bisa membeli kasih sayang yang kau harapkan dari
kedua orang tuamu.
23:47. Angka
itu terus bergerak. Kau masih duduk di atas tilam. Kedua kaki kausilangkan dan
jemarimu lincah menari-nari di atas papan keyboard. Kau sebenarnya sudah
letih, tetapi pekerjaan menuntut kedua matamu masih berkawan dengan layar
komputer hingga larut.
Dalam geliat
malam yang terus berlalu, telingamu menangkap dari lantai bawah, suara derit pintu yang dibuka. Gaduh dan riuh mengepung
senyap yang sedari tadi menemanimu.
Dari
lantai dua yang terhubung dengan anak-anak tangga, kau menonton drama klasik
yang terjadi nyaris tiap hari. Ayahmu
merangkul seorang wanita “berdempul
tebal”
yang
entah dia comot dari mana,
sedangkan
ibumu termangu menatap layar TV. Tatapan matanya kosong.
Kau terdiam
di depan pintu kamar. Kalian berpapasan. Mereka hanya melewatimu.
“Ayah sudah
pulang? Mau Amaya siapkan makan malam?”
“Itu anakmu?”
Tanya
si wanita “berdempul” menunjuk
padamu.
“Sudahlah, tidak usah pedulikan. Kita masuk ke
kamar.”
Kemudian
laki-laki tua menuding ibumu
dan berkata, “Pastikan kau dan anakmu tidak mengganggu
kesenanganku!”
Ibumu tidak
menjawab, bergeming.
Tangannya memegang benda pipih berasap dan mengisapnya perlahan.
“Ibu
baik-baik saja kan? Sebaiknya Ibu lekas pergi beristirahat. Ini sudah
terlalu larut. Nanti
Ibu sakit,”
sembari kau
menyentuh pundak ibumu,
menenangkannya.
Wanita
itu menepismu,
“Pergi! Tidak perlu pura-pura peduli padaku! Mau aku mati sekalipun, jangan bersikap baik padaku. Semua
ini salahmu, salahmu!” Lalu ibumu mulai berteriak histeris.
Dadamu
bergemuruh hebat,
sakit
sekali. Beginilah
rasanya
tidak diinginkan oleh orang tua sendiri. Di rumah yang tak ubahnya neraka, kau
hanya mencoba terus bertahan hingga tubuhmu tak lagi mampu menopang luka yang berulang-ulang
menggores jiwa. Sikap
keduanya lantas melecutmu,
membuatmu terbangun dari tidur panjang. Kau ingin membuka
lebar-lebar pintu kebebasanmu,
tanpa
ibumu, tanpa
ayahmu,
tanpa
siapa-siapa.
Kau menyewa
sebuah rumah paviliun di kota tetangga yang kau dapatkan infonya dari media sosial.
Pemiliknya keluarga kaya yang tidak terlalu mempersoalkan pembayaran. Asal kau
bersedia menempati dan merawat rumah itu saja cukup. Sejak kakimu melangkah di kota ini,
hujan pun berhenti turun. Warga kota mulai kasak-kusuk membicarakan dirimu.
Desas-desus yang beredar mengabarkan kau telah menyembunyikan hujan. Tentu saja
kau tidak melakukannya—secara harfiah. Titik-titik air dari awan kelabu itu
cuma kau kumpulkan menjadi hujan di pelupuk mata, kemudian menjelma genangan
air mata.
***
Bulan
sudah bertransformasi puluhan kali. Kau masih tetap menitipkan hati untuk
seseorang itu. Cintamu tumbuh semakin laju sebab seorang itu selalu kau jumpai ke mana pun kau melangkah. Witing
tresno jalaran soko kulino, sesuai kata pepatah Jawa Kuno. Kau menyadari tiap kali waktu
beranjak, sesuatu yang keliru dari dirimu semakin tak berjarak.
“Aku sepertinya sudah salah
menjatuhkan cinta,” katamu lirih.
Mengapa jatuh cinta ini teramat tidak lazim? Bisa-bisanya
kau jatuh cinta pada bagian lain dari dirimu! Di depan cermin, kau tatap lagi wajah
seseorang yang kaucintai. Seseorang yang seumur hidup berbagi segala hal denganmu
dan memiliki semua yang ada padamu, bahkan bayanganmu. Di dalam cermin, seraut
wajah itu tersenyum kepadamu dan berbisik, “Ayo, pergi bersama! Di sini tidak ada
yang memahami kita.”
***
Ya, kau
jatuh cinta pada wajah di dalam cerminmu. Sadarkah kau? Dia memang berada di
dekatmu sejak kau ditakdirkan hadir ke dunia. Dia yang berbagi bahagia dan penderitaan karena dia memang bagian
dari dirimu. Namun,
kau lupa, kau pun masih memilikiku. Aku yang melekat erat denganmu. Kita selamanya
adalah satu. Kau hidup, aku hidup. Kau mati, aku pun ikut mati bersamamu. Aku
adalah jiwamu yang rapuh.
***
Sinar bulan yang temaram memantul dari balik
air sungai yang terlihat jernih. Malam ini, kau akan menyatu dengan hujan. Bunyi
gemercik air sungai di bawah sana sumringah menyambut kedatanganmu.
Tepat ketika ragamu melayang lepas dari atas jembatan, hujan pun turun begitu
derasnya.
Henny Widyaning Fatmasari adalah seorang ibu dari empat anak dan saat ini, ia mengajar Bahasa Inggris di SD Al-Irsyad 1 Cilacap. Gemar menulis sejak SMA. Aktif bergiat di komunitas literasi Competer Indonesia dan Kepul (Kelas Puisi Alit) Nomor WA : 08562606020
Posting Komentar untuk "Wajah di Dalam Cermin"